Khutbah Jum’at merupakan salah satu media yang strategis untuk dakwah Islam, karena ia bersifat rutin dan wajib dihadiri oleh kaum muslimin secara berjamaah. Sayangnya, media ini terkadang kurang dimanfaatkan secara optimal. Para khathib seringkali menyampaikan khutbah yang membosankan yang berputar-putar dan itu-itu saja. Akibatnya, banyak para hadirin yang terkantuk-kantuk dan bahkan tertidur. Bahkan, ada satu anekdot yang menyebutkan, khutbah Jum’at adalah obat yang cukup mujarab untuk insomnia, penyakit sulit tidur.
Di samping itu, para khathib itu juga tak jarang menyampaikan khutbah dengan cara yang kurang sesuai dengan adab khutbah Jum’at yang seharusnya. Misalnya, mereka berkhutbah dengan suara yang lemah lembut. Mungkin dianggapnya itu adalah cara yang penuh “hikmah” dan lebih cocok dengan karakter orang Indonesia yang konon ramah tamah, mencintai harmonisasi kehidupan, serta suka kedamaian dan kelembutan (?). Tentu akibatnya lebih fatal. Sudah materinya membosankan, penyampaiannya malah bikin orang terlena di alam mimpi. Padahal menurut contoh Nabi SAW, beliau berkhutbah secara bersemangat dengan kata-kata yang terucap secara keras dan tegas. Jika para khathib menggunakan cara penyampaian yang diteladankan Nabi ini, dengan materi yang aktual, hangat, dan dinamis, niscaya para hadirin akan bergairah dan penuh semangat, tidak lesu dan mengantuk seperti yang sering kita lihat.
Karena itu, kita harus mempelajari kembali adab-adab khutbah Jumat sebagaimana yang ada dalam tuntunan Syariah Islam yang mulia. Tujuannya adalah agar para khathib dapat menjalankan khutbah Jum’at dengan sebaik-baiknya dan agar khutbah yang disampaikan dapat turut memberikan kontribusi yang lebih positif bagi dinamika dakwah Islam.
Adab Khutbah Jum’at
Adab khutbah Jum’at dapat diartikan sebagai sekumpulan tata cara khutbah Jum’at, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan hal-hal yang disunnahkan padanya1.
Adapun adab-adab khutbah Jum’at di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Disyaratkan bagi khatib pada kedua khutbah untuk berdiri (bagi yang kuasa), dengan sekali duduk di antara keduanya2. Kedua khutbah itu merupakan syarat sah jum’atan, demikian menurut seluruh imam madzhab3. Menurut Imam Asy Syafi’i, berdiri dalam dua khutbah dan duduk di antara keduanya adalah wajib4. Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, “Bahwa Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum’at dengan berdiri, lalu duduk, lalu berdiri (untuk berkhutbah lagi) seperti yang dikerjakan orang-orang hari ini.” (HR. Jamaah)5.
2. Disunnahkan bagi khatib untuk memberi salam ketika masuk masjid dan ketika naik mimbar sebelum khutbah. Ibnu Umar RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW jika masuk masjid pada hari Jum’at memberi salam pada orang-orang yang duduk di sisi mimbar dan jika telah naik mimbar beliau menghadap hadirin dan mengucapkan salam. (HR. Ath Thabrani)6
3. Kedua khutbah wajib memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Rukun-rukun khutbah dalam madzhab Syafi’i ada 5 (lima) : (1) Membaca hamdalah pada kedua khutbah, (2) Membaca shalawat Nabi pada kedua khutbah, (3) Wasiat taqwa pada kedua khutbah (meski tidak harus dengan kata “taqwa”, misalnya dengan kata Athiullah/taatilah kepada Allah), (4) Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu khutbah (pada khutbah pertama lebih utama), (5) Membaca do’a untuk kaum muslimin khusus pada khutbah kedua.7
Adapun syarat-syaratnya ada 6 (enam) perkara : (1) Kedua khutbah dilaksanakan mendahului shalat Jum’at, (2) Diawali dengan niat, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, niat bukan syarat sah khutbah, (3) Khutbah disampaikan dalam bahasa Arab. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa bagi kaum berbangsa Arab, rukun-rukun khutbah wajib berbahasa Arab, sedang selain rukun tidak disyaratkan demikian. Adapun bagi kaum ‘ajam (bukan Arab), pelaksanaan rukun-rukun khutbah tidak disyaratkan secara mutlak dengan bahasa Arab, kecuali pada bacaan ayat Al Qur’an8, (4) Kedua khutbah dilaksanakan pada waktunya (setelah tergelincir matahari). Jika dilaksanakan sebelum waktunya, lalu dilaksanakan shalat Jum’at pada waktunya, maka khutbahnya tidak sah, (5) Khatib disyaratkan mengeraskan suaranya pada kedua khutbah. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa rukun-rukun khutbah, khatib disyaratkan mengeraskan suaranya, (6) Antara khutbah dan shalat Jum’at tidak boleh berselang waktu lama9.
4. Disunnahkan bagi khatib untuk berkhutbah di atas mimbar, sebab Nabi SAW dahulu berkhutbah di atas mimbar10.
5. Disunnahkan bagi khatib untuk duduk pada anak tangga mimbar yang paling atas, sebab Nabi SAW telah mengerjakan yang demikian itu11.
6. Disunnahkan bagi khatib untuk mengeraskan suaranya pada khutbahnya (selain rukun-rukun khutbah)12. Diriwayatkan dari Jabir RA, bahwa jika Rasulullah berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya keras, dan nampak sangat marah, sampai beliau seperti orang yang sedang menghasungkan pasukan (untuk berperang) (HR. Muslim dan Ibnu Majah)13.
7. Disunnahkan bagi khatib untuk bersandar / berpegangan pada tongkat atau busur panah14. Ini sesuai riwayat Al Hakam bin Hazan RA yang mengatakan bahwa dia melihat Rasulullah SAW berkhutbah seraya bersandar pada busur panah atau tongkat (HR. Ahmad dan Abu Dawud)15.
8. Disunnahkan bagi khatib untuk memendekkan khutbahnya (tidak berpanjang-panjang atau bertele-tele)16. Diriwayatkan dari Amar bin Yasir RA, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya lamanya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, adalah pertanda kepahamannya (dalam urusan agama). Maka panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah !” (HR. Ahmad dan Muslim)
9. Dibolehkan bagi khatib untuk memberi isyarat dengan telunjuknya pada saat berdoa mengingat Rasulullah pernah mengerjakannya. Demikian menurut Imam Asy Syaukani-18.
10. Kedua khutbah wajib memperbincangkan salah satu urusan kaum muslimin19, yakni peristiwa atau kejadian yang sedang terjadi di kalangan kaum muslim dalam berbagai aspeknya. Hal ini mengingat Rasulullah SAW dan para khalifahnya dahulu –yang senantiasa menjadi khatib– sesungguhnya berkedudukan sebagai pemimpin politik (Al Qaid As Siyasi) bagi kaum muslimin.
Maka dari itu, perkara khatib saat ini pun seharusnya juga mengaitkan khutbahnya dengan realitas atau problem kontemporer yang ada di kalangan kaum muslimin, dan tidak sekedar mengulang-ulang khutbah yang kurang memberi kesadaran bagi hadirin, dengan tema yang itu-itu saja yang tentu akan membuat hadirin jemu, mengantuk, atau bahkan tertidur. Wallahu a’lam.
Catatan :
1. Kata “adab” (jamaknya “aadaab”) dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna, di antaranya adalah sejumlah tatacara yang selayaknya dilaksanakan oleh orang yang mempunyai pekerjaan / profesi (fan) atau aktivitas/tugas (shina’ah/tashurruf) tertentu. Misalnya, abad-adab Qadly (hakim) atau Khatib (penulis / pengarang). Lihat Al Mu’jamul Wasith, Dr. Ibrahim Anis dkk., hal. 9-10. Lihat Kamus Al Munawwir, Ahmad Warson Munawwir, jal. 14, 115, dan 853.
2. Lihat Ahkamush Shalat, Ali Ar Raghib, hal. 104
3. Lihat Rohmatul Ummah, (terjemahan), hal. 105
4. Ibid., hal. 105.
5. Lihat Nailul Authar, Imam Asy Syaukani, jilid III/304, Syarah As Sunnah, Imam Al Baghawi, jilid IV / 24-27, Majma’uz Zawaid, Al Haitsami, II/187, Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, jilid I/262.
6. Lihat Majma’uz Zawaid, jilid II/184, Fiqih Sunnah, jilid I/260.
7. Lihat Al Fiqih ‘Ala Al Madzahib Al ‘Arba’ah, Abdurrahman Al Jaziri, jili I/390.
8. Perhatikan rinciannya dalam Al Fiqih ‘Ala Al Madzahibi Al ‘Arba’ah, jilid I/391-392.
9. Lihat Al-Fiqih ‘Ala Al Madzahibi Al ‘Arba’ah, jilid I/392
10. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 104 , Syarah Sunnah, jilid II/242 dan 244, Majma’uz Zawaid, jilid II/183
11. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 104.
12. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 105, Fiqih Sunnah, jilid I/262. Nailul Authar, jilid III/307.
13. Lihat Nailul Authar, jilid III/307, Fiqih Sunnah, jilid I/263.
14. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 104.
15. Lihat Nailul Authar, jilid III/305. Menurut Asy Syaukani, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan, isnad hadits ini hasan.
16. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 105, Fiqih Sunnah, jilid I/263, Nailul Authar, jilid III/305-307.
17. Lihat Majma’uz Zawaid, jilid II/190. Syarah Sunnah, jilid II/251.
18. Lihat Nailul Authar, jilid III/308, Syarah Sunnah, jilid II/255.
19. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 104.
——
* Makalah ini pernah disampaikan pada Kursus Khatib Angkatan XII, yang diselenggarakan oleh Badan Dakwah Islam Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), di Jakarta, Jum’at, 10 Oktober 1997.
Kamis, 06 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar